15 October 2015

Gramedia: Jembatan Cintaku pada Buku

Posted by Icha Anindya at Thursday, October 15, 2015 0 comments
Ah, kalo Mba sih beda sama anak-anak yang lain. Kalau Papah tanya, 'Mba kepengen mainan apa? Papah beliin', pasti jawabannya emoh, ndak mau. Tapi kalau ditawarin buku selalu mau.

Begitulah ucapan Papah yang membuat kami semua tertawa saat sedang bersantai sambil nonton TV di ruang keluarga. Aku ikut tertawa walau tidak pernah ingat kejadian masa kecilku itu. Tapi satu hal yang pasti, buku memang sudah jadi duniaku sejak kecil.

Sejak aku masih bayi, orang tuaku sudah mengakrabkan aku dengan buku dan tulisan. Aku suka 'menemani' Papah membaca koran. Saat makan, Mamah selalu membacakan buku untukku supaya aku mau duduk anteng, begitu pula ketika hendak tidur. Seiring bertambahnya usia, kegiatan membaca bukan lagi sebuah rutinitas, tapi juga kebutuhan dan kesenangan. Ketika beranjak kanak-kanak, Mamah dan Papah mulai memperkenalkan aku pada sebuah tempat yang buatku sangat menakjubkan: toko buku!

Karena di tempatku tinggal waktu kecil belum ada toko buku besar, kami mesti ke luar kota untuk menyambangi toko buku. Dan toko buku yang besar dan lengkap pada masa itu tentu saja Gramedia. Kalau sudah jadwalnya ke Gramedia, duuuuuh, rasanya seneeeeeeng banget. Sesampainya di sana juga betah melihat-lihat buku ini dan itu. Mamah dan Papah juga sangat mengerti kalau ini saatnya aku bersenang-senang, makanya aku tidak pernah diburu-buru saat sedang memilih buku :)

Waktu SD, buku pelajaran menjadi hal yang tidak lepas dari kehidupan sekolahku sehari-hari. Dalam hal ini, Mamah adalah orang yang dengan gigih mendorongku untuk mau membaca banyak buku. Bukan hanya supaya aku lebih siap di sekolah, tapi juga untuk membentuk kebiasaan mencari referensi yang sangat kurasakan manfaatnya ketika sudah jadi mahasiswa. Karena itulah Mamah gencar mencari buku pelajaran dari berbagai penerbit. Jadilah setiap awal catur wulan tiba, kami akan pulang dari Gramedia dengan membawa tas berisi segepok buku pelajaran :D

Berlanjut saat SMP, SMA, kuliah, sampai saat ini, Gramedia tetap jadi 'surga' buatku. Beruntung sekali sekarang hampir di setiap kota sudah ada Gramedia. Bahkan dalam satu kota bisa ada lebih dari satu Gramedia, jadi main ke manapun bisa tetap mengunjungi Gramedia. Beruntungnya lagi, aku dikelilingi orang-orang yang juga mencintai buku, mulai dari orang tua, saudara, sahabat, bahkan pacar. Girls' Day sama Mamah mainnya ke Gramedia. Main bareng saudara, ujung-ujungnya ke Gramedia (beberapa ke komik, yang satu go straight ke bagian majalah, yang masih SD ke bagian mainan, dan aku cuci mata di bagian novel, plus kadang beli diary juga! :D). Jalan sama sobat ya tujuannya Gramedia. Kalau pasangan lain bermalam Minggu dengan candlelight dinner atau nonton bioskop, me and my boyfriend just go to Gramedia, hunting buku sesuai kesukaan masing-masing :)

Sampai sekarang, alhamdulillah, koleksi bukuku sudah banyak dan hampir semuanya kudapatkan dengan membeli di Gramedia. Buku pertamaku masih aku ingat, judulnya Bayi Binatang dari Seri Pustaka Kecil. Mamah selalu membacakan buku itu sebelum tidur sampai-sampai aku hafal isinya. Kalau ada bagian yang terlewat oleh Mamah, aku bisa protes dan membetulkan. Hihihi... :')) Dulu koleksi buku Seri Pustaka Kecil-ku banyak sekali, tapi karena kami beberapa kali pindah, bukunya beberapa sudah rusak, tercecer dan hilang. Hiks. Alangkah senangnya kalau buku-buku masa kecilku bisa 'dihidupkan' kembali, jadi kalau aku sudah punya anak nanti, mereka akan bisa membaca buku-buku yang menyenangkan sekaligus mendidik seperti aku dulu :)

Oh ya, kemarin siang, buku yang kubeli dari belanja online di Gramedia sudah sampai. Aku sudah kepengen banget buku ini sejak sebulan yang lalu. Sudah cari ke mana-mana tapi ternyata belum terbit, akhirnya aku harus bersabar menunggu Oktober. Awal bulan Oktober aku cek katalog di www.gramedia.com dan bukunya sudah ada! Langsung deh aku pesan dan tiga hari kemudian bukunya sampai di rumah. Bahagiaaaaaaa ^_^ Ini adalah pertama kalinya aku belanja online, belinya buku dan tentu saja di Gramedia!

Thank you, Gramedia ^_^

Gramedia jadi saksi betapa buku bisa membuatku bersemangat dan gembira. Aku pernah setengah menjerit kegirangan melihat buku yang kuinginkan akhirnya terpajang di rak New Arrival Gramedia. Aku pernah jadi objek tatapan orang-orang karena, katanya, memperlihatkan ekspresi takjub dan excited saat melihat hamparan buku di depan pintu Gramedia. Dan setiap memasuki pintu itu, aku merasa miskin karena dihantam hasrat untuk membeli semua buku di toko tapi ndak punya uang. Hahaaa :')))

For me, Gramedia is a 'little' sanctuary, tempat untuk melepaskan kejenuhan, bersenang-senang, dan memenuhi kebutuhan untuk membaca. Salah satu impian besar saya adalah punya perpustakaan pribadi. Pastinya Gramedia yang jadi tempat saya mencari buku untuk memenuhi rak-rak di rumah saya nanti :)



*Tulisan ini diikutkan dalam event Gramedia Blogger Competition periode Oktober 2015.

2 September 2015

When Mood Swings You

Posted by Icha Anindya at Wednesday, September 02, 2015 0 comments
Sepupuku Dede pernah masang gambar ini di DP BBM-nya.



Dan aku ketawa.

Aku ndak ngerti penjelasan secara psikologinya, tapi faktanya emang aku bisa merasakan semua yang digambarkan emot-emot itu dalam satu hari. Bangun pagi moodnya biasa aja, terus jam 10-an gitu agak turun, terus siang melting-melting nonton gebetan baru si cowok Turki yang namanya Ayaz (#infondakpenting), abis itu nangis, abis itu emotionless, abis itu senyum-senyum liat foto-fotonya almost-real OTP, ketawa-ketawa nonton RM, terus tidur.

Kalo yang baca ini seorang cowok, pasti bakalan cape banget ngebayanginnya :')))))

Oh ya, dalam hari-hari normal aja hal seperti ini sering terjadi, apalagi pas PMS. Kalian akan menemukan bahwa perubahan mood kami tak ubahnya grafik takikardi :p

Sebenernya mood swing begini ndak bagus buat seorang wanita, for me especially, yang mana kualitas kegiatannya hampir selalu dipengaruhi level mood. Dan setelah bertahun-tahun, kali ini aku benar-benar menyadari hal krusial terkait mood swing ini.

Kalau moodku jelek karena lagi marah atau ngambek, aku akan sangat senang diberi pekerjaan yang membutuhkan otak kiri. Aku akan mendadak jadi sangat lancar mengerjakan soal atau, dulu, mengerjakan tugas kuliah dan nggarap tesis. Pokoknya tiba-tiba pinternya jadi nge-boost, otaknya tiba-tiba mletik. Beberapa bulan yang lalu aku mau tes microteaching dan nervous-nya setengah mati. Akhirnya aku becanda sama Mas Radif, aku mau dinakali biar ngambek dan marah, biar pas tes aku jadi pinter :D

Sebaliknya, bad mood menghambat kemampuanku melakukan hal-hal yang membutuhkan 'rasa'. Aku punya proyek handmade baru dan hari ini entah kenapa tanganku jadi 'keriting' dan hasil pekerjaanku jelek semua. Waktu masak juga gitu, butuh berulang kali adjust bumbu sampe rasanya pas. Untung hasilnya pas dan enak. Lalu aku paham kenapa chef cewek lebih sedikit jumlahnya dibanding cowok. Kalo cewek PMS masak, garam sama gula bisa ketuker. Kalo masak di restoran dalam kondisi begitu, tamu-tamunya bisa baku pukul. Chef cewek profesional pasti punya self-control yang luar biasa levelnya.

Kayanya PR-ku selanjutnya adalah belajar mengendalikan diri biar Hulk-nya ndak muncul sakkarepe dhewe. Atau lewat belokan lain, biar lagi badmood, kerjaan pake otak ataupun perasaan hasilnya bagus semua.

11 August 2015

Fire Tests Gold

Posted by Icha Anindya at Tuesday, August 11, 2015 0 comments
Dulu waktu mau lulus SMA, aku masih terobsesi jadi dokter. Pilihan pertamaku untuk ujian masuk universitas ya Pendidikan Dokter. And after weeks, even months of studying like crazy, I didn't get it. Waktu mau ujian masuk universitas juga, kumasukkan nama universitas impianku di pilihan pertama. Setelah mencoba tiga kali sampai jiwa ragaku babak belur, I didn't get it.

Aku kuliah di tempat yang tidak terlalu kuharapkan, di jurusan yang kusukai tapi bukan yang sangat kuinginkan. Dan saat mau skripsi, aku bisa dibilang mahasiswa yang nyaris terakhir mendapatkan judul. Bukan apa-apa, saat itu dosen yang membuka proyek yang kuincar cuma sedikit, bahkan nyaris tidak ada.

Setelah lulus, aku harus menunggu setahun setelah lulus untuk bisa masuk S2. Jadi mahasiswa season 2, klimaks season 1 terulang lagi. Aku harus pontang-panting dan dilempar ke sana kemari sampai jiwa raga babak belur lagi demi mendapatkan proyek untuk tesis.

Kali ini fase hidupku sedang nyebahi seperti sebelumnya itu. I don't know where this road will take me to. Aku disibukkan dengan mencari apa yang kuinginkan, apa yang jadi tujuanku, apa yang kusukai dan itu semua ternyata sanggup membuat kepalaku pusing. It feels like Allah is testing me. Dan ujian yang berasal dari diri sendiri cukup buruk juga ternyata.

Sampai kemudian aku bertanya pada diriku sendiri. Yakin lagi diuji, Cha? Bukan lagi ditanya? 

Dan setelah merenung dan merunut, mungkin memang benar. 

Apa yang benar-benar kamu sukai, Cha?
Apa yang benar-benar kamu inginkan, Cha?
Kamu maunya jadi apa, Cha? 

Tapi ya mungkin iya juga, aku lagi diuji. Diuji seberapa keras kepalaku, seberapa keras kemauanku, seberapa persisten aku dengan apa yang aku mau, dan seberapa mempeng usahaku untuk mendapatkan itu. Plus berapa banyak keikhlasanku di saat yang bersamaan.

Dulu juga begitu kan? Aku dibelokkan, dikasih hambatan, digimanain sebegitu rupa, tapi pada akhirnya aku mendapatkan apa yang kuinginkan, hanya karena aku tidak menyerah, berani mengambil pilihan dan sedikit keras kepala.

Ada—bahkan banyak—saat ketika hidupku begitu ruwet, berliku, naik turun, lewat polisi tidur, kejebak macet, pengalihan lalu lintas, kehabisan bensin, kebanan, mesinnya mlepeg, dan sebagainya sehingga rasanya susaaaaaaaah sekali sampai ke tujuan. There were times when it was so damn difficult to achieve something, sometimes even almost impossible, as if I was never destined to get that. Reality was too painful to face and dreams were even unreachable. Saking seringnya bahkan aku sampai ndak bisa ngitung.

But somehow I could overcome that. Dan apa yang kudapat melebihi ekspektasiku sebelumnya.

Aku ndak jadi masuk Kedokteran, tapi di Biologi track record-ku ndak buruk. Malah sekarang jadi cinta setengah mati. I can't live without it. Meskipun biologinya tetep ke-medis-medis-an juga sih :D

Aku ndak jadi masuk S1 di univ yang aku pengen dari SMP, tapi aku akhirnya berhasil 'balas dendam'. Aku bisa S2 di sana dengan bahagia. Tentu dengan kekeraskepalaan yang kalau orang tahu, aku sudah pasti kena sambit sendal jepit. Dikasih kesempatan scholarship ke Australia kutolak (padahal LoA dijamin langsung turun dan pengurusan sudah dijamin lancar jaya), terus seleksi beasiswa ke Jepang kulepaskan begitu saja di tengah jalan (padahal sudah lolos seleksi 1), demi masuk ke univ yang aku mau. Ternyata di sini aku dapat teman yang level kewarasannya setingkat denganku, ketemu orang-orang yang hebat, dan belajar hal-hal baru yang priceless. Kalau dulu aku kuliah S1 tidak di almamater S1-ku, mungkin aku akan end up di luar negeri atau di antah berantah dan takkan mendapatkan apa yang kudapatkan sekarang.

Meski dilempar pontang-panting ke sana kemari, aku bisa dapat proyek penelitian untuk skripsi dan tesis sesuai keinginanku, dengan kekeraskepalaan yang di luar kewajaran juga. Dapat dosen pembimbing dan teman-teman satu penelitian yang luar biasa kompak. Waktu ujian juga lancar dan 'terusir' dari kampus dengan selamat, tepat waktu, dan hasil yang pantas disyukuri.

Masalah cinta jangan ditanya. 23 tahun jadi cewek yang ditolak semua cowok dulu, baru akhirnya ada yang suka padaku. Orangnya high quality lagi <3

Aku teringat salah satu ungkapan Latin yang kudapat di novel yang kubaca beberapa waktu lalu. Ignis aurum probat. Fire tests gold. Api menguji emas. Kesulitan menguji kekuatan dan karakter seseorang. Kurasa ujian dan pertanyaan-pertanyaan ini juga begitu. Mungkin aku disiapkan untuk sesuatu yang sangat sangat besar, sesuatu yang sangat kuinginkan dan Allah harus tahu apakah aku benar-benar siap menerimanya sebelum memberikannya padaku.

Fase merenung-dan-mencari ini memang menyebalkan dan mentally exhausting. Aku ingin melakukan sesuatu sambil mencari tapi kok ya tetep susah menemukan sesuatu yang bisa membuatku nyaman. I don't give up on my dreams, not yet, meskipun di satu sisi rasanya batas antara mimpi dan kenyataan makin jelas saja dari hari ke hari. Mungkin aku perlu menambah usaha, kekeraskepalaan dan keikhlasanku sedikit lagi. Semoga saja aku bisa cepat menemukan jawabannya biar setidaknya arah hidupku ndak terlunta-lunta :)

22 July 2015

Catatan Lebaran #1: The Observer

Posted by Icha Anindya at Wednesday, July 22, 2015 0 comments
Eid Mubarak! Maaf lahir batin, semuanya :)

Meski Lebaran tahun ini kuhabiskan bersama para sepupu di bagian barat pulau, dengan jujur dan berat hati harus kukatakan bahwa Lebaran kali ini sama sekali tidak meninggalkan kesan manis bagiku. Aku bisa banyak mengeluh kalau mau, dan aku memang beberapa kali mengeluhkan situasi yang hambar ini, tapi nyatanya keadaan tidak bisa diubah dan entah bagaimana aku justru menemukan hal-hal yang cukup membuat diriku sendiri terkejut.

Entah apakah aku sudah semakin dewasa (faktanya aku berulang tahun beberapa hari yang lalu :p) atau karena energiku habis (mengingat bahkan sebelum traveling aku sudah mondar-mandir ke sana kemari), surprisingly aku berhasil menahan mulutku menjadi liar. Itu jelas jauh lebih baik dari yang bisa kuharapkan. Dan sebagai gantinya, mata dan telingaku (dan tentu saja perutku :p) bekerja lebih efektif dalam beberapa hari itu.

Tidak banyak hal yang kucurhatkan pada saudara-saudaraku kemarin, bahkan nyaris tidak ada, padahal aku sudah menyiapkan banyak bahan cerita untuk quality time kami. Selama di sana, aku sendiri tidak tahu kenapa bisa seperti itu, tapi sesampainya kembali ke rumah, aku sadar kalau mungkin memang tidak ada hal yang perlu diceritakan, tidak sepenting itu sampai perlu dibahas dan diceritakan. Bukan hanya itu. Selama di sana aku melihat bahwa saudara-saudaraku sibuk dengan dunianya sendiri, baik itu dunia yang mereka ciptakan sendiri (gadget, TV, ngelamun) atau dunia 'paksaan' (disuruh bikin teh padahal sebenarnya yang nyuruh bisa bikin sendiri, dipanggil ke sana kemari, ditarik ke hotel sementara yang lain berkumpul di rumah, dan sebagainya). Aku tidak menghakimi dan memang tidak berhak menghakimi. Aku juga tidak terang-terangan meminta mereka untuk menciptakan quality time seperti yang kuharapkan ketika kami bisa berkumpul begini. Entah bagaimana aku bisa diam dan mengamati. Tapi seperti yang kau tahu, kau bisa mengendalikan mulutku tetap diam, tapi tidak dengan pikiranku. Aku menilai semua itu dalam pikiranku, menempatkan penilaian untuk setiap orang dan membiarkannya tidak terkonfirmasi.

Kurasa memang benar, ketika sedang diam, kau bisa menjadi observer yang luar biasa baik. Dan fokus pengamatanku kemarin adalah para orang tua. Aku mengamati bagaimana om-tante dan pakde-budeku bersikap. Aku mendengar apa yang mereka katakan, memperhatikan gaya bahasa dan intonasi yang sering mereka gunakan, bagaimana mereka bicara dengan anak-anak mereka, bagaimana mereka sedikit-sedikit memanggil untuk meminta anaknya melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa dikerjakan sendiri atau ditunda, bagaimana mereka membuat orang lain terburu-buru ketika itu berkaitan dengan kepentingan mereka sementara di sisi lain kelewat santai padahal ada orang lain yang butuh kepentingan, siapa berpikiran seperti apa, dan bagaimana akhirnya anak-anak mereka meniru apa yang mereka lakukan.

Ada kalanya aku mengernyitkan dahi melihat apa yang kutemukan, ada kalanya juga aku mengangguk dan tersenyum sendiri. Observer punya keuntungan, kami bisa menyimpan rasa setuju dan tidak setuju. Kami tidak mengungkapkannya, kami melakukannya. Kami akan meniru apa yang kami setujui, tapi ketika ada hal yang tidak kami setujui, siapapun takkan bisa memaksa kami untuk melakukan hal yang sama.

Bisa dibilang Lebaran tahun ini aku tidak banyak berinteraksi dengan orang-orang yang kujumpai, akan tetapi di sisi lain aku mendapatkan lebih banyak pelajaran. Aku tidak puas dengan acara Lebarannya, tapi aku puas dengan diriku sendiri. Aku puas dengan apa yang kuperoleh. Mungkin memang benar, sesekali aku perlu menutup mulut dan lebih banyak membiarkan mata dan telingaku berkelana. Itu kalau aku mau jadi sedikit lebih bijaksana.

17 May 2015

Ngumpet-ngumpet

Posted by Icha Anindya at Sunday, May 17, 2015 0 comments
Aku wanita, tapi sejujurnya aku ndak pernah paham cara berseteru ala wanita.

A punya masalah dengan B. Lalu A curhat via BBM ke C sementara B telponan curhat sejam lebih sama D. Kalau A dan B bertatap muka, mereka saling melempar senyum manis dan sapaan mesra bahkan cipika cipiki, tapi asal tahu saja, sebenarnya tangan mereka sudah dalam posisi siaga menampar muka lawan bicara.

Wanita, katanya, jago menyimpan perasaan, termasuk perasaan marah, kesal, betrayed, dan semacamnya. Makanya kalau wanita berseteru, mereka akan mencari pendukung instead of menyelesaikan masalahnya sesegera mungkin. Terjadilah perang sembunyi-sembunyi. A dan pendukungnya diam-diam membenci B, begitu juga sebaliknya. Sampai sangkakala ditiup dua kali juga ini perang ndak akan beres.

Kadang kupikir alangkah indahnya sebuah perseteruan jika diselesaikan dengan cara penduduk Mars: janjian ketemu di lapangan terus gasak-gasakan. Sounds cruel to you? Bagiku sebaliknya, itu cara paling fair menyelesaikan masalah. Gasak-gasakan, pulang babak belur, tapi abis itu UDAH. Masalahnya selesai. Selesai dalam arti sebenarnya dan mereka bisa berteman lagi tanpa beban. Atau kalau takut mukanya rusak karena memar, janjian ketemu di suatu tempat, masuk ruangan, kunci pintunya lalu tanding catur. Itu juga gasak-gasakan—pikirannya gasak-gasakan.

The point is ndak ada gunanya berantem. Ndak ada gunanya BBM panjang-panjang atau telpon pendukung berlama-lama hanya untuk mengklaim diri ndak bersalah. Masalahnya ndak akan beres. Masalah hanya akan selesai kalau kalian duduk bersama dan membuat kompromi, bukannya satu curhat ke selatan, satunya curhat ke utara.

Kalau dipikir lagi, mungkin ini bukan semata perseteruan ala wanita. Ini perseteruan orang yang tidak dewasa. Masing-masing pihak ndak mau melepas ego untuk menyelesaikan masalah. Pada akhirnya masalahnya bukan pada si 'masalah' itu sendiri. Masalahnya ya ego kalian itu. Ego yang membuat kepala kalian jadi sekeras batu.

1 May 2015

Just A Game

Posted by Icha Anindya at Friday, May 01, 2015 0 comments
I should not do this.

Time is running out, I only have 3 days to prepare all materials required for the test but no idea comes to my narrow mind, I don't know how my presentation should look like, and I am blabbering out like this.

I think it would be easier to take this as a game, instead of a test. At least I have nothing to worry about, I have nothing to lose. Lately I watch many episodes of Running Man and I start to imagine the upcoming test as one of RM missions. And this mission will take me one step closer to final mission, the most exciting and cruel one: nametag ripping game.

No, this game will not be that cruel. I don't even need to be Miss Capable to survive. The only thing I have to do is playing with all my heart's content and having a good time.

The game is on!

18 March 2015

Visualisation: The Power of BGM

Posted by Icha Anindya at Wednesday, March 18, 2015 0 comments
Aku termasuk orang yang ndak bisa membiarkan telingaku menganggur sepanjang waktu. Entah ketika sedang main game, belajar, menulis, yang namanya MP3 player di hape atau laptop harus playing sesuatu. Tujuannya lebih untuk membangun mood sih. Kalau saat belajar dan bekerja, biar otakku ndak cepat jenuh juga.

Saat sedang membaca novel aku juga hampir selalu mendengarkan musik. Aku termasuk orang yang percaya pada kekuatan background music (BGM). Kalau lagu yang kudengarkan tepat melatarbelakangi adegannya, aku bisa membayangkan adegan itu dengan sangat mudah dan bisa sampai jadi sangat emosional :D

Waktu di Lombok, aku baca Clockwork Angel sambil dengerin Nageki no Oto dan Fate (Kokia). Karena lagunya bisa pas, itu udah kaya personal theme song-ku selama namatin trilogi The Infernal Devices. Tapi waktu baca Clockwork Princess, entah bagaimana aku bermanuver. Aku baca adegan Will menemukan Tessa di Cadair Idris dan entah gimana, aku memutuskan nyetel Sakura Nagashi tapi langsung pas di bagian klimaksnya.

 Clockwork Princess (Cassandra Clare), Indonesian edition, pp. 441-442

Haduh, bisa langsung kebayang kaya film T.T

27 February 2015

High-School Unrequited Love

Posted by Icha Anindya at Friday, February 27, 2015 0 comments
Hari ini sesampai di sekolah, pertanyaan pertama yang kuajukan kepada anak-anak murid adalah: "Gimana outbond-nya kemarin?"

Mereka serentak menjawab, dengan muka sumringah, "Asyik, Miss! Tapi cape..." :))

Jadi ceritanya, kemarin anak kelas XII mengikuti kegiatan outbond di Kulonprogo. Semacam refreshing sejenak di sela-sela kesibukan persiapan ujian lah. Dan pembahasan soal persiapan Tryout pun mundur seprapat jam saking serunya bertukar cerita seputar kejadian selama outbond. Melihat wajah-wajah yang datang hari ini, kayanya sih outbondnya bener-bener seru. Apalagi katanya ada sesi Truth or Dare segala.

Namanya juga Truth or Dare, permainan ini selalu dimanfaatkan untuk mengorek rahasia dan aib-aib temen, terutama perkara cinta. Nah, ini bagian serunya. Katanya (lagi), waktu sesi Truth or Dare, ada seorang murid cowok, sebut saja XY, menanyakan perasaan seorang cewek, sebut saja XX, terhadap dirinya. Menurut kabar burung yang beredar, XY emang naksir sama XX. Jawaban XX di Truth or Dare pun menegaskan segalanya. Cinta XY pada XX ternyata unrequited. Yaaaaaaaaaaahhh... :'))

Declarations of love amuse me. Especially when unrequited.

-Jace Wayland, City of Bones 

Bagaikan memutar waktu, aku masuk SMA 11 tahun yang lalu, dan selama 3 tahun jadi anak putih abu-abu, jangan ditanya berapa banyak gebetanku. Mulai dari ketua kelas, anak Paskib, sampe sahabat sendiri. Iya, cuma gebetan kok, soalnya cintaku selama SMA unrequited semua. Unrequitednya sampe bikin akunya galau gitu, di hape isinya lagu galau semua. LOL XDDD

Lucu banget sekarang jadinya. Dulu galau, sekarang bisa menertawakan kegalauan itu. Bukan karena sekarang aku (akhirnya) punya pacar, bukaaaaaaaaaan. Aku ketawa karena menyadari betapa berbedanya konsep cinta di otak SMA-ku dan di otakku yang sekarang. Kata pacarku, cinta SMA itu masih kaku, pokoknya maunya cowok yang begini, cewek yang begitu. Semakin dewasa, cintanya semakin rasional, bisa menerima kekurangan orang yang disukai, ndak saklek harus begini begitu lagi, asalkan ndak keluar dari kriteria wajib dan masih bisa ditoleransi.

Dipikir-pikir iya juga. Zaman SMA dulu, kayanya yang namanya cinta sebenernya belum ada. Paling-paling cuma crush atau infatuated cuma karena cowoknya cakep atau pinter atau cool. Buktinya perasaannya meledak-ledak di awal, tapi lupanya juga cepet, sekarang hilang ndak ada bekasnya. Konyol banget. Justru setelah mengalami puluhan kali unrequited, aku jadi tau cowok seperti apa yang benar-benar aku mau untuk jadi pendamping. Anak SMA mana mikir sampe situ?

Bagaimanapun, kisah cinta (monyet) masa SMA juga bagian dari pedewasaanku. Sekarang setelah 11 tahun berlalu, kalau aku ketemu sama cowok-cowok yang pernah kutaksir dulu, aku pasti akan tertawa mengenang betapa konyolnya diriku yang segitu galaunya pernah ditolak sama mereka :'))))))


p.s. Postingan ini kutulis sambil dengerin Too Little Too Late-nya Jojo, lagu yang kunyanyikan berulang-ulang waktu ditolak gebetanku di kelas 3 SMA :p

7 February 2015

Guru Pasca-Sarjana

Posted by Icha Anindya at Saturday, February 07, 2015 0 comments
Dua belas hari lalu, aku resmi menyandang gelar sarjana kedua. Ritual wisudaku sedikit berbeda dengan wisuda S1, termasuk berbeda kota, venue, yang mewisuda, dan model toganya. Akhirnya aku merasakan juga diwisuda di Grha Sabha Pramana UGM. Overjoyed :D

Waktu kelulusanku (ujian tesis tertutup dan terbuka) dengan wisuda berselang cukup jauh, sekitar 4 bulan dan selama 4 bulan itu kelakuanku seperti Sherlock yang lagi sepi kasus, teriak-teriak "BORED!" sepanjang waktu sambil gegulingan ke sana kemari, praktis kerjaannya cuma makan sama tidur aja. My life was so dull at that point.

Mungkin penyebabnya gara-gara akunya juga yang terlampau idealis. Tujuanku setelah lulus S2 hanya satu: jadi dosen. Aku tidak pernah menginginkan dan membayangkan pekerjaan lain selain itu (kecuali jadi istri dan ibu :p). Tapi ternyata untuk mendapatkan tempat yang cocok juga bukan perkara gampang. Sekali waktu tanteku memberi info lowongan untuk dosen, tapi aku tidak sreg dengan universitasnya, jadi peluang itu tak kuambil, bahkan walaupun bidangnya sesuai dengan major-ku. Sementara itu universitas lain yang kuincar belum membuka lowongan, jadi ya sudah, another waiting session I guess.

Lalu sekitar dua minggu sebelum wisuda, beberapa hari setelah tahun baru, teman sekelasku Ayu memberikan tawaran padaku via WhatsApp,"Purun dadi guru drilling neng sekolahanku po?"

Awalnya aku agak bimbang. Aku tahu Ayu sudah beberapa bulan bekerja jadi guru di SMA. Bekerja jadi guru di SMA sedikit melenceng dari idealismeku memang, tapi aku sebenarnya tidak terlalu merasa keberatan. Hanya saja, aku pernah punya pengalaman buruk. Aku pernah melamar untuk menjadi guru di bimbel, lalu aku dites microteaching dan kemudian aku ditolak bekerja karena (kata jurinya) cara mengajarku tidak cocok untuk anak SMA. Katanya aku mengajar seperti seorang dosen. Sepulang dari situ, kuputuskan bahwa aku akan berpikir berulang kali kalau harus mengajar di bimbel (dan secara tidak langsung, anak SMA), karena di mataku bimbel hanyalah sarana mencari jawaban dengan cepat, bukan mencari pemahaman tentang apa yang dipelajari. Aku merasa perlu mempertimbangkan tawaran itu, jadi aku minta waktu berpikir sebentar dan setelah dapat acc dari Mamah, malamnya aku bilang pada Ayu kalau aku menerima tawarannya.

Sekitar dua hari kemudian, aku datang ke sekolah itu untuk wawancara dengan guru biologinya. Ada tiga orang yang berminat menjadi guru drilling, sementara yang dibutuhkan hanya dua, jadi diadakan seleksi wawancara. Selain aku, ada mas-mas dari UIN dan satunya Mas Agung, yang juga teman sekelasku. Lumayan lah, aku jadi sedikit tenang, setidaknya ada orang yang kukenal dan aku jadi bisa ngobrol selama menunggu. Lagipula sebenarnya aku sudah stress sejak Ayu memberitahuku bahwa akan ada seleksi. Tapi akhirnya "Fuck it" juga. Toh mau lari dari kenyataan juga tidak bisa.

Singkat cerita, akhirnya aku dan Mas Agung yang lolos seleksi. Alhamdulillah, akhirnya aku punya kegiatan yang menghasilkan uang. Aku juga jadi tidak bengong saja di rumah. Aku juga bersyukur aku dan Mas Agung sama-sama lolos, jadi aku tidak perlu melakukan penyesuaian dengan teman kerjaku, aku tinggal menyesuaikan diri dengan sekolah dan pekerjaanku. Tentang pekerjaannya sendiri, dibilang berat ya berat, dibilang tidak ya tidak. Jadi aku membantu anak kelas XII dalam persiapan menghadapi Ujian Nasional. Tiap kelas dibagi menjadi tiga kelompok. Aku, Mas Agung, dan guru biologi masing-masing meng-handle satu kelompok dan kami membahas soal-soal dari modul dan kumpulan soal ujian tahun-tahun sebelumnya.

Sejujurnya pada hari pertamaku bekerja, aku cukup ketakutan. Aku tidak pernah menghadapi anak SMA sebelumnya. Tapi ya, aku pernah jadi anak SMA, jadi aku tahu bagaimana kelakuan dasar anak SMA. Di luar dugaan, hari pertamaku berlangsung cukup baik. Bagian terbaik dari hari pertamaku adalah menyaksikan kekaguman anak-anak ketika tahu bahwa guru baru mereka adalah lulusan S2 :)))

Sampai hari ini, aku sudah mengenal dengan baik semua murid yang ku-handle dan aku berani bilang bahwa mereka cukup nyaman belajar bersamaku. Pada dasarnya mereka juga pribadi yang unik dan menyenangkan. Selalu ada hal baru yang kudapatkan setiap bertemu mereka dan aku juga belajar banyak dari mereka. Awalnya aku takut tidak bisa mengenal mereka dengan baik, tapi entah bagaimana aku bisa melakukannya. Ternyata aku hanya perlu melepaskan posisi sebagai aku dan lebih banyak terfokus pada mereka. Dan surprisingly, aku sedikit demi sedikit bisa mengetahui apa yang tersembunyi dalam diri mereka. Pada dasarnya mereka semua punya potensi dan gaya masing-masing untuk belajar. Aku belum menemukan cara untuk membuat kemampuan mereka melesat, tapi setidaknya aku tahu bagaimana cara menangani masing-masing dari mereka.

Dari mereka, aku belajar banyak tentang menghadapi orang. Aku belajar bagaimana mendapatkan perhatian mereka saat di kelas dan rupanya mereka senang saat seorang guru punya dunia yang sama dengan mereka. Beberapa murid lumayan kaget saat tahu aku sudah membaca Eyeshield 21 dan kami membahas jalan ceritanya sedikit. Beberapa murid juga sudah berani curhat padaku tentang pelajaran. Agak lucu juga, aku jadi anak manja di depan orang tua dan pacarku, tapi di depan mereka, aku bijaksana luar biasa. Lebih baik mereka ndak tau aslinya aku :p

Aku juga menemukan murid-murid yang kemampuannya jauh di atas teman-teman seangkatannya yang lain. Mereka kritis, belajar dengan caranya sendiri, membaca dan mengingat lebih banyak dari yang diperlukan, dan kadang bersikap agak seenaknya (yang mengingatkanku pada pacarku :D). Beberapa dari mereka terlihat jelas-jelas bangga dengan kemampuannya dan jadi terkesan ingin menunjukkan pada gurunya bahwa mereka mampu. Aku tidak menyalahkan mereka untuk ini karena aku dulu pun begitu :p Bahkan aku mengakui kalau ada di antara mereka yang lebih pintar dari aku (atau mungkin ingatannya hanya sedikit lebih fresh. #ngeles), mengingatkan diriku sendiri untuk lebih siap dan belajar lebih banyak supaya ndak mati gaya di depan mereka :)

Jadi guru SMA bukan cita-citaku, aku masih dan selalu ingin jadi dosen. Tapi passion-ku mungkin memang mengajar, sehingga meskipun kuakui aku cape jadi guru drilling, sejauh ini aku tidak mau mutung. Banyak pelajaran yang kudapatkan sekarang yang pasti berguna ketika aku nanti benar-benar menjadi dosen. Lagipula jadi guru drilling memberiku kesempatan untuk me-refresh ilmuku dan belajar lebih banyak lagi. Dan bagiku, ini bukan masalah gaji. Bukan juga masalah "eman-eman lulusan S2 kok cuma jadi guru". Ini batu loncatan yang berharga untuk mencapai cita-citaku nanti :)
 

Imaginary Fairytales Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review