21 February 2016

Jutaan Makna dalam Rupa Bersahaja

Posted by Icha Anindya at Sunday, February 21, 2016 0 comments
Kurasa zaman sekarang setiap orang pasti punya setidaknya satu pakaian batik dalam lemari mereka. Dulu batik identik dengan keraton, kesan tradisional, kuno, dan orang-orang tua, namun seiring berjalannya waktu batik telah menjadi pakaian yang diminati oleh segala usia dan lapisan masyarakat. Batik sendiri menjadi salah satu pakaian favoritku. Selain karena bahannya adem, motif dan warnanya yang beraneka ragam membuatnya tidak susah dibentuk menjadi berbagai model, mulai dari blus kasual sampai gaun formal. Lagipula, siapa bilang batik tak cocok dengan celana jeans dan sneakers?

 Pakai batik untuk travelling? Siapa takut! :D

Meski aku suka batik modern dengan warna-warna cerah dan model kontemporer, aku punya ketertarikan terhadap batik-batik klasik, terutama batik-batik yang berasal dari lingkungan tempatku dibesarkan, yaitu Solo dan Jogja. Di dua kota ini terdapat dua keraton yang menjadi poros kebudayaan Jawa, yaitu Keraton Kasunanan Surakarta di Solo dan Keraton Kasultanan Yogyakarta di Jogja. Batik Solo dan Jogja dalam bahasa Belanda disebut sebagai batik vorstenlanden, yang secara harfiah berarti wilayah-wilayah kerajaan. Sebagai keraton-keraton yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Mataram, bisa dibilang dari sanalah batik-batik klasik berasal.

Batik klasik asal Solo dan Jogja memiliki perbedaan mencolok dengan batik dari daerah lain. Berbeda dengan batik dari daerah lain yang warnanya cenderung cerah dan bermacam-macam (merah, biru, hijau, dan lain-lain), batik klasik cenderung memiliki satu atau dua warna saja. Batik Solo warnanya dominan coklat dan kuning sehingga sering disebut batik sogan (sogan artinya coklat), sedangkan batik Jogja warnanya lebih banyak putih dan coklat tua atau hitam. Warna-warna tersebut memiliki makna kesederhanaan, kerendahan hati, kesucian, dan keanggunan, sehingga pemakainya diharapkan mempunyai sifat-sifat luhur tersebut. Motif-motif batik klasik selain indah, juga kental akan filosofi, bukan hanya gambar bunga atau hewan semata.

Batik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa yang teguh memegang tradisi. Berbagai upacara adat seperti pernikahan, tujuh bulanan, kelahiran, hingga kematian melibatkan batik dalam setiap ritualnya. Setiap batik mengandung harapan, makna, dan filosofi yang bebeda sehingga dalam satu rangkaian upacara bisa saja menggunakan batik yang bebeda.

Ini dia beberapa motif batik klasik yang indah dan sarat makna.

Sidomukti
Sido berarti jadi atau menjadi, mukti artinya bahagia, mendapat kedudukan yang tinggi, kaya atau sejahtera. Batik Sidomukti biasanya digunakan kedua mempelai pada upacara pernikahan. Harapannya adalah semoga keluarga mempelai mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan.

Batik Sidomukti gaya Jogja (atas) dan Solo (bawah)


Wahyu Tumurun
Batik Wahyu Tumurun biasanya digunakan calon mempelai wanita pada malam midodareni. Sesuai namanya, batik ini mengandung harapan agar pemakainya mendapatkan petunjuk dan berkah dari Allah SWT.

 Batik Wahyu Tumurun gaya Jogja (atas) dan Solo (bawah)


Udan Liris
Udan Liris artinya hujan gerimis. Batik ini bermakna agar generasi muda senantiasa tabah dan bersemangat mencari rezeki, tekun berusaha meski ada halangan. Jika dikenakan oleh pengantin, batik Udan Liris mengandung pesan agar mempelai mampu menghadapi suka duka kehidupan berumah tangga, hujan dan panas harus dihadapi bersama. Di sisi lain, hujan gerimis mampu menyejukkan udara. Kalau diperhatikan, garis-garis tipis yang ada pada batik Udan Liris memang membuat kain ini terkesan adem, seperti hujan gerimis di malam hari :)

 Batik Udan Liris


Babon Angrem
Babon Angrem artinya ayam betina yang sedang mengerami telurnya. Pemakai batik dengan motif ini diharapkan memiliki kesabaran dan ketelatenan dalam mencapai sesuatu seperti induk ayam yang sabar mengerami telurnya hingga menetas.

  Batik Babon Angrem


Madu Bronto
Nah, kalo yang semanis madu begini pasti sudah bisa ditebak. Madu Bronto artinya kasmaran atau jatuh cinta. Konon dahulu para pria mengenakan batik Madu Bronto ketika berkunjung ke rumah kekasihnya, sehingga orang tua si gadis tahu maksud kedatangan sang pria dengan melihat bajunya saja. Keren kali ya, kalau zaman sekarang para cowok dateng ngapel pakai Madu Bronto :)

  Batik Madu Bronto


Satriyo Manah
Batik Satriyo Manah dikenakan oleh pria saat melamar kekasihnya. Maknanya tentu saja si pria 'memanah' hati calon istrinya dan berharap lamarannya diterima. Romantis yaaa :)

  Batik Satriyo Manah


Semen Rante
Nah, kalau saat lamaran si pria mengenakan Satriyo Manah, maka si wanita mengenakan Semen Rante. Maknanya adalah bahwa si wanita bersedia dijadikan istri dan siap disatukan dalam ikatan pernikahan yang kokoh.  

  Batik Semen Rante


Truntum
Menurut Winarso Kalinggo, pengamat budaya Jawa dari Museum Radya Pustaka Solo, motif Truntum diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk, selir Paku Buwana III. Saat itu Sang Ratu merasa sedih karena Raja mempunyai kekasih baru sehingga beliau merasa dilupakan. Suatu malam Ratu melihat bunga tanjung yang berguguran di halaman istana. Keindahannya dituangkan oleh Sang Ratu pada sehelai kain. Ketekunan Ratu membatik menarik perhatian Raja, kemudian Raja mendekati dan menunggui Ratu membatik. Makna dari motif Truntum adalah kasih sayang yang tumbuh kembali (tumaruntum) karena berkat motif inilah cinta Raja kepada Ratu bersemi kembali. Batik Truntum biasa dikenakan orang tua mempelai pada hari pernikahan. Cinta kasih yang selalu bersemi di antara orang tua diharapkan juga dimiliki oleh mempelai. Truntum juga dapat bermakna menuntun, yang maknanya orang tua diharapkan selalu menuntun anaknya ke arah kebaikan.

  Batik Truntum


Slobog
Slobog berasal dari kata lobok yang berarti longgar. Batik Slobog biasa digunakan untuk menutup jenazah serta digunakan para pelayat saat menghadiri takziah. Makna batik Slobog yaitu doa bagi almarhum agar mendapatkan kelonggaran dan kelapangan dalam kuburnya, sedangkan yang ditinggalkan mendapatkan ketabahan dan kelapangan hati untuk melepas kepergian almarhum dengan ikhlas. 

Batik Slobog

Dahulu ada motif-motif batik yang hanya boleh dikenakan oleh Raja dan anggota keluarganya, misalnya kelompok Sawat dan Parang. Namun dengan berjalannya waktu, aturan keraton menjadi agak longgar dan beberapa motif boleh dipakai rakyat biasa, misalnya Udan Liris. 

Sejak dulu batik menjadi elemen budaya yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan seluruh lapisan masyarakat Jawa. Zaman sekarang pun penggunaan kain batik tidak hanya sebatas pakaian, tetapi telah dikreasikan menjadi tas, aksesoris, perlengkapan rumah tangga, bahkan ada yang membuat kue bermotif batik. Batik-batik yang dikreasikan ini tentu bukan batik klasik. Banyak juga anak muda yang sekarang berkreasi menciptakan motif-motif batik kontemporer. Bagi aku pribadi, batik klasik maupun kontemporer punya kelebihan masing-masing. Tapi saat memakai batik klasik, apalagi batik tulis, rasanya bedaaaa sekali. Rasanya lebih 'Njawani', jadi orang Jawa tulen :D

Mempelajari berbagai macam motif batik sangat menarik bagiku. Selain bisa menikmati sebuah karya seni, makna dan filosofi yang terkandung di dalamnya menunjukkan bahwa para pencipta motif batik telah mampu menuangkan pemikiran dan harapan dalam simbol-simbol yang begitu indah. Mengenakan batik yang berbeda dalam setiap kesempatan bisa membantu kita mengingat nilai-nilai sebuah upacara adat. Dengan begitu pemakainya diharapkan akan selalu berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Batik tulis yang indah itu juga tidak dibikin dalam semalam lho. Butuh proses yang saaangat panjang dan waktu yang lama. Ini mengajarkan bahwa menghasilkan sesuatu itu butuh proses dan ketekunan. Hebat ya, begitu banyak pelajaran yang bisa dipetik hanya dari sehelai kain :) 

Ngomong-ngomong, belajar tentang batik membuatku ingin jadi kolektor batik, terutama batik tulis klasik. Insya Allah :) 




*Tulisan ini diikutkan dalam event Gramedia Blogger Competition periode Februari 2016. 

Referensi:
Kusrianto, A. 2013. Batik - Filosofi, Motif dan Kegunaan. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

10 January 2016

A Week After New Year

Posted by Icha Anindya at Sunday, January 10, 2016 0 comments


우린 성공해야 해
아니 행복해야 해

We need to succeed
No, we need to be happy


[Lonely Night (또 하루) - GARY (개리) feat. GAEKO]

 

 

 *Photo taken from here.

15 October 2015

Gramedia: Jembatan Cintaku pada Buku

Posted by Icha Anindya at Thursday, October 15, 2015 0 comments
Ah, kalo Mba sih beda sama anak-anak yang lain. Kalau Papah tanya, 'Mba kepengen mainan apa? Papah beliin', pasti jawabannya emoh, ndak mau. Tapi kalau ditawarin buku selalu mau.

Begitulah ucapan Papah yang membuat kami semua tertawa saat sedang bersantai sambil nonton TV di ruang keluarga. Aku ikut tertawa walau tidak pernah ingat kejadian masa kecilku itu. Tapi satu hal yang pasti, buku memang sudah jadi duniaku sejak kecil.

Sejak aku masih bayi, orang tuaku sudah mengakrabkan aku dengan buku dan tulisan. Aku suka 'menemani' Papah membaca koran. Saat makan, Mamah selalu membacakan buku untukku supaya aku mau duduk anteng, begitu pula ketika hendak tidur. Seiring bertambahnya usia, kegiatan membaca bukan lagi sebuah rutinitas, tapi juga kebutuhan dan kesenangan. Ketika beranjak kanak-kanak, Mamah dan Papah mulai memperkenalkan aku pada sebuah tempat yang buatku sangat menakjubkan: toko buku!

Karena di tempatku tinggal waktu kecil belum ada toko buku besar, kami mesti ke luar kota untuk menyambangi toko buku. Dan toko buku yang besar dan lengkap pada masa itu tentu saja Gramedia. Kalau sudah jadwalnya ke Gramedia, duuuuuh, rasanya seneeeeeeng banget. Sesampainya di sana juga betah melihat-lihat buku ini dan itu. Mamah dan Papah juga sangat mengerti kalau ini saatnya aku bersenang-senang, makanya aku tidak pernah diburu-buru saat sedang memilih buku :)

Waktu SD, buku pelajaran menjadi hal yang tidak lepas dari kehidupan sekolahku sehari-hari. Dalam hal ini, Mamah adalah orang yang dengan gigih mendorongku untuk mau membaca banyak buku. Bukan hanya supaya aku lebih siap di sekolah, tapi juga untuk membentuk kebiasaan mencari referensi yang sangat kurasakan manfaatnya ketika sudah jadi mahasiswa. Karena itulah Mamah gencar mencari buku pelajaran dari berbagai penerbit. Jadilah setiap awal catur wulan tiba, kami akan pulang dari Gramedia dengan membawa tas berisi segepok buku pelajaran :D

Berlanjut saat SMP, SMA, kuliah, sampai saat ini, Gramedia tetap jadi 'surga' buatku. Beruntung sekali sekarang hampir di setiap kota sudah ada Gramedia. Bahkan dalam satu kota bisa ada lebih dari satu Gramedia, jadi main ke manapun bisa tetap mengunjungi Gramedia. Beruntungnya lagi, aku dikelilingi orang-orang yang juga mencintai buku, mulai dari orang tua, saudara, sahabat, bahkan pacar. Girls' Day sama Mamah mainnya ke Gramedia. Main bareng saudara, ujung-ujungnya ke Gramedia (beberapa ke komik, yang satu go straight ke bagian majalah, yang masih SD ke bagian mainan, dan aku cuci mata di bagian novel, plus kadang beli diary juga! :D). Jalan sama sobat ya tujuannya Gramedia. Kalau pasangan lain bermalam Minggu dengan candlelight dinner atau nonton bioskop, me and my boyfriend just go to Gramedia, hunting buku sesuai kesukaan masing-masing :)

Sampai sekarang, alhamdulillah, koleksi bukuku sudah banyak dan hampir semuanya kudapatkan dengan membeli di Gramedia. Buku pertamaku masih aku ingat, judulnya Bayi Binatang dari Seri Pustaka Kecil. Mamah selalu membacakan buku itu sebelum tidur sampai-sampai aku hafal isinya. Kalau ada bagian yang terlewat oleh Mamah, aku bisa protes dan membetulkan. Hihihi... :')) Dulu koleksi buku Seri Pustaka Kecil-ku banyak sekali, tapi karena kami beberapa kali pindah, bukunya beberapa sudah rusak, tercecer dan hilang. Hiks. Alangkah senangnya kalau buku-buku masa kecilku bisa 'dihidupkan' kembali, jadi kalau aku sudah punya anak nanti, mereka akan bisa membaca buku-buku yang menyenangkan sekaligus mendidik seperti aku dulu :)

Oh ya, kemarin siang, buku yang kubeli dari belanja online di Gramedia sudah sampai. Aku sudah kepengen banget buku ini sejak sebulan yang lalu. Sudah cari ke mana-mana tapi ternyata belum terbit, akhirnya aku harus bersabar menunggu Oktober. Awal bulan Oktober aku cek katalog di www.gramedia.com dan bukunya sudah ada! Langsung deh aku pesan dan tiga hari kemudian bukunya sampai di rumah. Bahagiaaaaaaa ^_^ Ini adalah pertama kalinya aku belanja online, belinya buku dan tentu saja di Gramedia!

Thank you, Gramedia ^_^

Gramedia jadi saksi betapa buku bisa membuatku bersemangat dan gembira. Aku pernah setengah menjerit kegirangan melihat buku yang kuinginkan akhirnya terpajang di rak New Arrival Gramedia. Aku pernah jadi objek tatapan orang-orang karena, katanya, memperlihatkan ekspresi takjub dan excited saat melihat hamparan buku di depan pintu Gramedia. Dan setiap memasuki pintu itu, aku merasa miskin karena dihantam hasrat untuk membeli semua buku di toko tapi ndak punya uang. Hahaaa :')))

For me, Gramedia is a 'little' sanctuary, tempat untuk melepaskan kejenuhan, bersenang-senang, dan memenuhi kebutuhan untuk membaca. Salah satu impian besar saya adalah punya perpustakaan pribadi. Pastinya Gramedia yang jadi tempat saya mencari buku untuk memenuhi rak-rak di rumah saya nanti :)



*Tulisan ini diikutkan dalam event Gramedia Blogger Competition periode Oktober 2015.

2 September 2015

When Mood Swings You

Posted by Icha Anindya at Wednesday, September 02, 2015 0 comments
Sepupuku Dede pernah masang gambar ini di DP BBM-nya.



Dan aku ketawa.

Aku ndak ngerti penjelasan secara psikologinya, tapi faktanya emang aku bisa merasakan semua yang digambarkan emot-emot itu dalam satu hari. Bangun pagi moodnya biasa aja, terus jam 10-an gitu agak turun, terus siang melting-melting nonton gebetan baru si cowok Turki yang namanya Ayaz (#infondakpenting), abis itu nangis, abis itu emotionless, abis itu senyum-senyum liat foto-fotonya almost-real OTP, ketawa-ketawa nonton RM, terus tidur.

Kalo yang baca ini seorang cowok, pasti bakalan cape banget ngebayanginnya :')))))

Oh ya, dalam hari-hari normal aja hal seperti ini sering terjadi, apalagi pas PMS. Kalian akan menemukan bahwa perubahan mood kami tak ubahnya grafik takikardi :p

Sebenernya mood swing begini ndak bagus buat seorang wanita, for me especially, yang mana kualitas kegiatannya hampir selalu dipengaruhi level mood. Dan setelah bertahun-tahun, kali ini aku benar-benar menyadari hal krusial terkait mood swing ini.

Kalau moodku jelek karena lagi marah atau ngambek, aku akan sangat senang diberi pekerjaan yang membutuhkan otak kiri. Aku akan mendadak jadi sangat lancar mengerjakan soal atau, dulu, mengerjakan tugas kuliah dan nggarap tesis. Pokoknya tiba-tiba pinternya jadi nge-boost, otaknya tiba-tiba mletik. Beberapa bulan yang lalu aku mau tes microteaching dan nervous-nya setengah mati. Akhirnya aku becanda sama Mas Radif, aku mau dinakali biar ngambek dan marah, biar pas tes aku jadi pinter :D

Sebaliknya, bad mood menghambat kemampuanku melakukan hal-hal yang membutuhkan 'rasa'. Aku punya proyek handmade baru dan hari ini entah kenapa tanganku jadi 'keriting' dan hasil pekerjaanku jelek semua. Waktu masak juga gitu, butuh berulang kali adjust bumbu sampe rasanya pas. Untung hasilnya pas dan enak. Lalu aku paham kenapa chef cewek lebih sedikit jumlahnya dibanding cowok. Kalo cewek PMS masak, garam sama gula bisa ketuker. Kalo masak di restoran dalam kondisi begitu, tamu-tamunya bisa baku pukul. Chef cewek profesional pasti punya self-control yang luar biasa levelnya.

Kayanya PR-ku selanjutnya adalah belajar mengendalikan diri biar Hulk-nya ndak muncul sakkarepe dhewe. Atau lewat belokan lain, biar lagi badmood, kerjaan pake otak ataupun perasaan hasilnya bagus semua.

11 August 2015

Fire Tests Gold

Posted by Icha Anindya at Tuesday, August 11, 2015 0 comments
Dulu waktu mau lulus SMA, aku masih terobsesi jadi dokter. Pilihan pertamaku untuk ujian masuk universitas ya Pendidikan Dokter. And after weeks, even months of studying like crazy, I didn't get it. Waktu mau ujian masuk universitas juga, kumasukkan nama universitas impianku di pilihan pertama. Setelah mencoba tiga kali sampai jiwa ragaku babak belur, I didn't get it.

Aku kuliah di tempat yang tidak terlalu kuharapkan, di jurusan yang kusukai tapi bukan yang sangat kuinginkan. Dan saat mau skripsi, aku bisa dibilang mahasiswa yang nyaris terakhir mendapatkan judul. Bukan apa-apa, saat itu dosen yang membuka proyek yang kuincar cuma sedikit, bahkan nyaris tidak ada.

Setelah lulus, aku harus menunggu setahun setelah lulus untuk bisa masuk S2. Jadi mahasiswa season 2, klimaks season 1 terulang lagi. Aku harus pontang-panting dan dilempar ke sana kemari sampai jiwa raga babak belur lagi demi mendapatkan proyek untuk tesis.

Kali ini fase hidupku sedang nyebahi seperti sebelumnya itu. I don't know where this road will take me to. Aku disibukkan dengan mencari apa yang kuinginkan, apa yang jadi tujuanku, apa yang kusukai dan itu semua ternyata sanggup membuat kepalaku pusing. It feels like Allah is testing me. Dan ujian yang berasal dari diri sendiri cukup buruk juga ternyata.

Sampai kemudian aku bertanya pada diriku sendiri. Yakin lagi diuji, Cha? Bukan lagi ditanya? 

Dan setelah merenung dan merunut, mungkin memang benar. 

Apa yang benar-benar kamu sukai, Cha?
Apa yang benar-benar kamu inginkan, Cha?
Kamu maunya jadi apa, Cha? 

Tapi ya mungkin iya juga, aku lagi diuji. Diuji seberapa keras kepalaku, seberapa keras kemauanku, seberapa persisten aku dengan apa yang aku mau, dan seberapa mempeng usahaku untuk mendapatkan itu. Plus berapa banyak keikhlasanku di saat yang bersamaan.

Dulu juga begitu kan? Aku dibelokkan, dikasih hambatan, digimanain sebegitu rupa, tapi pada akhirnya aku mendapatkan apa yang kuinginkan, hanya karena aku tidak menyerah, berani mengambil pilihan dan sedikit keras kepala.

Ada—bahkan banyak—saat ketika hidupku begitu ruwet, berliku, naik turun, lewat polisi tidur, kejebak macet, pengalihan lalu lintas, kehabisan bensin, kebanan, mesinnya mlepeg, dan sebagainya sehingga rasanya susaaaaaaaah sekali sampai ke tujuan. There were times when it was so damn difficult to achieve something, sometimes even almost impossible, as if I was never destined to get that. Reality was too painful to face and dreams were even unreachable. Saking seringnya bahkan aku sampai ndak bisa ngitung.

But somehow I could overcome that. Dan apa yang kudapat melebihi ekspektasiku sebelumnya.

Aku ndak jadi masuk Kedokteran, tapi di Biologi track record-ku ndak buruk. Malah sekarang jadi cinta setengah mati. I can't live without it. Meskipun biologinya tetep ke-medis-medis-an juga sih :D

Aku ndak jadi masuk S1 di univ yang aku pengen dari SMP, tapi aku akhirnya berhasil 'balas dendam'. Aku bisa S2 di sana dengan bahagia. Tentu dengan kekeraskepalaan yang kalau orang tahu, aku sudah pasti kena sambit sendal jepit. Dikasih kesempatan scholarship ke Australia kutolak (padahal LoA dijamin langsung turun dan pengurusan sudah dijamin lancar jaya), terus seleksi beasiswa ke Jepang kulepaskan begitu saja di tengah jalan (padahal sudah lolos seleksi 1), demi masuk ke univ yang aku mau. Ternyata di sini aku dapat teman yang level kewarasannya setingkat denganku, ketemu orang-orang yang hebat, dan belajar hal-hal baru yang priceless. Kalau dulu aku kuliah S1 tidak di almamater S1-ku, mungkin aku akan end up di luar negeri atau di antah berantah dan takkan mendapatkan apa yang kudapatkan sekarang.

Meski dilempar pontang-panting ke sana kemari, aku bisa dapat proyek penelitian untuk skripsi dan tesis sesuai keinginanku, dengan kekeraskepalaan yang di luar kewajaran juga. Dapat dosen pembimbing dan teman-teman satu penelitian yang luar biasa kompak. Waktu ujian juga lancar dan 'terusir' dari kampus dengan selamat, tepat waktu, dan hasil yang pantas disyukuri.

Masalah cinta jangan ditanya. 23 tahun jadi cewek yang ditolak semua cowok dulu, baru akhirnya ada yang suka padaku. Orangnya high quality lagi <3

Aku teringat salah satu ungkapan Latin yang kudapat di novel yang kubaca beberapa waktu lalu. Ignis aurum probat. Fire tests gold. Api menguji emas. Kesulitan menguji kekuatan dan karakter seseorang. Kurasa ujian dan pertanyaan-pertanyaan ini juga begitu. Mungkin aku disiapkan untuk sesuatu yang sangat sangat besar, sesuatu yang sangat kuinginkan dan Allah harus tahu apakah aku benar-benar siap menerimanya sebelum memberikannya padaku.

Fase merenung-dan-mencari ini memang menyebalkan dan mentally exhausting. Aku ingin melakukan sesuatu sambil mencari tapi kok ya tetep susah menemukan sesuatu yang bisa membuatku nyaman. I don't give up on my dreams, not yet, meskipun di satu sisi rasanya batas antara mimpi dan kenyataan makin jelas saja dari hari ke hari. Mungkin aku perlu menambah usaha, kekeraskepalaan dan keikhlasanku sedikit lagi. Semoga saja aku bisa cepat menemukan jawabannya biar setidaknya arah hidupku ndak terlunta-lunta :)

22 July 2015

Catatan Lebaran #1: The Observer

Posted by Icha Anindya at Wednesday, July 22, 2015 0 comments
Eid Mubarak! Maaf lahir batin, semuanya :)

Meski Lebaran tahun ini kuhabiskan bersama para sepupu di bagian barat pulau, dengan jujur dan berat hati harus kukatakan bahwa Lebaran kali ini sama sekali tidak meninggalkan kesan manis bagiku. Aku bisa banyak mengeluh kalau mau, dan aku memang beberapa kali mengeluhkan situasi yang hambar ini, tapi nyatanya keadaan tidak bisa diubah dan entah bagaimana aku justru menemukan hal-hal yang cukup membuat diriku sendiri terkejut.

Entah apakah aku sudah semakin dewasa (faktanya aku berulang tahun beberapa hari yang lalu :p) atau karena energiku habis (mengingat bahkan sebelum traveling aku sudah mondar-mandir ke sana kemari), surprisingly aku berhasil menahan mulutku menjadi liar. Itu jelas jauh lebih baik dari yang bisa kuharapkan. Dan sebagai gantinya, mata dan telingaku (dan tentu saja perutku :p) bekerja lebih efektif dalam beberapa hari itu.

Tidak banyak hal yang kucurhatkan pada saudara-saudaraku kemarin, bahkan nyaris tidak ada, padahal aku sudah menyiapkan banyak bahan cerita untuk quality time kami. Selama di sana, aku sendiri tidak tahu kenapa bisa seperti itu, tapi sesampainya kembali ke rumah, aku sadar kalau mungkin memang tidak ada hal yang perlu diceritakan, tidak sepenting itu sampai perlu dibahas dan diceritakan. Bukan hanya itu. Selama di sana aku melihat bahwa saudara-saudaraku sibuk dengan dunianya sendiri, baik itu dunia yang mereka ciptakan sendiri (gadget, TV, ngelamun) atau dunia 'paksaan' (disuruh bikin teh padahal sebenarnya yang nyuruh bisa bikin sendiri, dipanggil ke sana kemari, ditarik ke hotel sementara yang lain berkumpul di rumah, dan sebagainya). Aku tidak menghakimi dan memang tidak berhak menghakimi. Aku juga tidak terang-terangan meminta mereka untuk menciptakan quality time seperti yang kuharapkan ketika kami bisa berkumpul begini. Entah bagaimana aku bisa diam dan mengamati. Tapi seperti yang kau tahu, kau bisa mengendalikan mulutku tetap diam, tapi tidak dengan pikiranku. Aku menilai semua itu dalam pikiranku, menempatkan penilaian untuk setiap orang dan membiarkannya tidak terkonfirmasi.

Kurasa memang benar, ketika sedang diam, kau bisa menjadi observer yang luar biasa baik. Dan fokus pengamatanku kemarin adalah para orang tua. Aku mengamati bagaimana om-tante dan pakde-budeku bersikap. Aku mendengar apa yang mereka katakan, memperhatikan gaya bahasa dan intonasi yang sering mereka gunakan, bagaimana mereka bicara dengan anak-anak mereka, bagaimana mereka sedikit-sedikit memanggil untuk meminta anaknya melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa dikerjakan sendiri atau ditunda, bagaimana mereka membuat orang lain terburu-buru ketika itu berkaitan dengan kepentingan mereka sementara di sisi lain kelewat santai padahal ada orang lain yang butuh kepentingan, siapa berpikiran seperti apa, dan bagaimana akhirnya anak-anak mereka meniru apa yang mereka lakukan.

Ada kalanya aku mengernyitkan dahi melihat apa yang kutemukan, ada kalanya juga aku mengangguk dan tersenyum sendiri. Observer punya keuntungan, kami bisa menyimpan rasa setuju dan tidak setuju. Kami tidak mengungkapkannya, kami melakukannya. Kami akan meniru apa yang kami setujui, tapi ketika ada hal yang tidak kami setujui, siapapun takkan bisa memaksa kami untuk melakukan hal yang sama.

Bisa dibilang Lebaran tahun ini aku tidak banyak berinteraksi dengan orang-orang yang kujumpai, akan tetapi di sisi lain aku mendapatkan lebih banyak pelajaran. Aku tidak puas dengan acara Lebarannya, tapi aku puas dengan diriku sendiri. Aku puas dengan apa yang kuperoleh. Mungkin memang benar, sesekali aku perlu menutup mulut dan lebih banyak membiarkan mata dan telingaku berkelana. Itu kalau aku mau jadi sedikit lebih bijaksana.

17 May 2015

Ngumpet-ngumpet

Posted by Icha Anindya at Sunday, May 17, 2015 0 comments
Aku wanita, tapi sejujurnya aku ndak pernah paham cara berseteru ala wanita.

A punya masalah dengan B. Lalu A curhat via BBM ke C sementara B telponan curhat sejam lebih sama D. Kalau A dan B bertatap muka, mereka saling melempar senyum manis dan sapaan mesra bahkan cipika cipiki, tapi asal tahu saja, sebenarnya tangan mereka sudah dalam posisi siaga menampar muka lawan bicara.

Wanita, katanya, jago menyimpan perasaan, termasuk perasaan marah, kesal, betrayed, dan semacamnya. Makanya kalau wanita berseteru, mereka akan mencari pendukung instead of menyelesaikan masalahnya sesegera mungkin. Terjadilah perang sembunyi-sembunyi. A dan pendukungnya diam-diam membenci B, begitu juga sebaliknya. Sampai sangkakala ditiup dua kali juga ini perang ndak akan beres.

Kadang kupikir alangkah indahnya sebuah perseteruan jika diselesaikan dengan cara penduduk Mars: janjian ketemu di lapangan terus gasak-gasakan. Sounds cruel to you? Bagiku sebaliknya, itu cara paling fair menyelesaikan masalah. Gasak-gasakan, pulang babak belur, tapi abis itu UDAH. Masalahnya selesai. Selesai dalam arti sebenarnya dan mereka bisa berteman lagi tanpa beban. Atau kalau takut mukanya rusak karena memar, janjian ketemu di suatu tempat, masuk ruangan, kunci pintunya lalu tanding catur. Itu juga gasak-gasakan—pikirannya gasak-gasakan.

The point is ndak ada gunanya berantem. Ndak ada gunanya BBM panjang-panjang atau telpon pendukung berlama-lama hanya untuk mengklaim diri ndak bersalah. Masalahnya ndak akan beres. Masalah hanya akan selesai kalau kalian duduk bersama dan membuat kompromi, bukannya satu curhat ke selatan, satunya curhat ke utara.

Kalau dipikir lagi, mungkin ini bukan semata perseteruan ala wanita. Ini perseteruan orang yang tidak dewasa. Masing-masing pihak ndak mau melepas ego untuk menyelesaikan masalah. Pada akhirnya masalahnya bukan pada si 'masalah' itu sendiri. Masalahnya ya ego kalian itu. Ego yang membuat kepala kalian jadi sekeras batu.
 

Imaginary Fairytales Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review