22 July 2015

Catatan Lebaran #1: The Observer

Posted by Icha Anindya at Wednesday, July 22, 2015 0 comments
Eid Mubarak! Maaf lahir batin, semuanya :)

Meski Lebaran tahun ini kuhabiskan bersama para sepupu di bagian barat pulau, dengan jujur dan berat hati harus kukatakan bahwa Lebaran kali ini sama sekali tidak meninggalkan kesan manis bagiku. Aku bisa banyak mengeluh kalau mau, dan aku memang beberapa kali mengeluhkan situasi yang hambar ini, tapi nyatanya keadaan tidak bisa diubah dan entah bagaimana aku justru menemukan hal-hal yang cukup membuat diriku sendiri terkejut.

Entah apakah aku sudah semakin dewasa (faktanya aku berulang tahun beberapa hari yang lalu :p) atau karena energiku habis (mengingat bahkan sebelum traveling aku sudah mondar-mandir ke sana kemari), surprisingly aku berhasil menahan mulutku menjadi liar. Itu jelas jauh lebih baik dari yang bisa kuharapkan. Dan sebagai gantinya, mata dan telingaku (dan tentu saja perutku :p) bekerja lebih efektif dalam beberapa hari itu.

Tidak banyak hal yang kucurhatkan pada saudara-saudaraku kemarin, bahkan nyaris tidak ada, padahal aku sudah menyiapkan banyak bahan cerita untuk quality time kami. Selama di sana, aku sendiri tidak tahu kenapa bisa seperti itu, tapi sesampainya kembali ke rumah, aku sadar kalau mungkin memang tidak ada hal yang perlu diceritakan, tidak sepenting itu sampai perlu dibahas dan diceritakan. Bukan hanya itu. Selama di sana aku melihat bahwa saudara-saudaraku sibuk dengan dunianya sendiri, baik itu dunia yang mereka ciptakan sendiri (gadget, TV, ngelamun) atau dunia 'paksaan' (disuruh bikin teh padahal sebenarnya yang nyuruh bisa bikin sendiri, dipanggil ke sana kemari, ditarik ke hotel sementara yang lain berkumpul di rumah, dan sebagainya). Aku tidak menghakimi dan memang tidak berhak menghakimi. Aku juga tidak terang-terangan meminta mereka untuk menciptakan quality time seperti yang kuharapkan ketika kami bisa berkumpul begini. Entah bagaimana aku bisa diam dan mengamati. Tapi seperti yang kau tahu, kau bisa mengendalikan mulutku tetap diam, tapi tidak dengan pikiranku. Aku menilai semua itu dalam pikiranku, menempatkan penilaian untuk setiap orang dan membiarkannya tidak terkonfirmasi.

Kurasa memang benar, ketika sedang diam, kau bisa menjadi observer yang luar biasa baik. Dan fokus pengamatanku kemarin adalah para orang tua. Aku mengamati bagaimana om-tante dan pakde-budeku bersikap. Aku mendengar apa yang mereka katakan, memperhatikan gaya bahasa dan intonasi yang sering mereka gunakan, bagaimana mereka bicara dengan anak-anak mereka, bagaimana mereka sedikit-sedikit memanggil untuk meminta anaknya melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa dikerjakan sendiri atau ditunda, bagaimana mereka membuat orang lain terburu-buru ketika itu berkaitan dengan kepentingan mereka sementara di sisi lain kelewat santai padahal ada orang lain yang butuh kepentingan, siapa berpikiran seperti apa, dan bagaimana akhirnya anak-anak mereka meniru apa yang mereka lakukan.

Ada kalanya aku mengernyitkan dahi melihat apa yang kutemukan, ada kalanya juga aku mengangguk dan tersenyum sendiri. Observer punya keuntungan, kami bisa menyimpan rasa setuju dan tidak setuju. Kami tidak mengungkapkannya, kami melakukannya. Kami akan meniru apa yang kami setujui, tapi ketika ada hal yang tidak kami setujui, siapapun takkan bisa memaksa kami untuk melakukan hal yang sama.

Bisa dibilang Lebaran tahun ini aku tidak banyak berinteraksi dengan orang-orang yang kujumpai, akan tetapi di sisi lain aku mendapatkan lebih banyak pelajaran. Aku tidak puas dengan acara Lebarannya, tapi aku puas dengan diriku sendiri. Aku puas dengan apa yang kuperoleh. Mungkin memang benar, sesekali aku perlu menutup mulut dan lebih banyak membiarkan mata dan telingaku berkelana. Itu kalau aku mau jadi sedikit lebih bijaksana.
 

Imaginary Fairytales Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review