27 February 2015

High-School Unrequited Love

Posted by Icha Anindya at Friday, February 27, 2015 0 comments
Hari ini sesampai di sekolah, pertanyaan pertama yang kuajukan kepada anak-anak murid adalah: "Gimana outbond-nya kemarin?"

Mereka serentak menjawab, dengan muka sumringah, "Asyik, Miss! Tapi cape..." :))

Jadi ceritanya, kemarin anak kelas XII mengikuti kegiatan outbond di Kulonprogo. Semacam refreshing sejenak di sela-sela kesibukan persiapan ujian lah. Dan pembahasan soal persiapan Tryout pun mundur seprapat jam saking serunya bertukar cerita seputar kejadian selama outbond. Melihat wajah-wajah yang datang hari ini, kayanya sih outbondnya bener-bener seru. Apalagi katanya ada sesi Truth or Dare segala.

Namanya juga Truth or Dare, permainan ini selalu dimanfaatkan untuk mengorek rahasia dan aib-aib temen, terutama perkara cinta. Nah, ini bagian serunya. Katanya (lagi), waktu sesi Truth or Dare, ada seorang murid cowok, sebut saja XY, menanyakan perasaan seorang cewek, sebut saja XX, terhadap dirinya. Menurut kabar burung yang beredar, XY emang naksir sama XX. Jawaban XX di Truth or Dare pun menegaskan segalanya. Cinta XY pada XX ternyata unrequited. Yaaaaaaaaaaahhh... :'))

Declarations of love amuse me. Especially when unrequited.

-Jace Wayland, City of Bones 

Bagaikan memutar waktu, aku masuk SMA 11 tahun yang lalu, dan selama 3 tahun jadi anak putih abu-abu, jangan ditanya berapa banyak gebetanku. Mulai dari ketua kelas, anak Paskib, sampe sahabat sendiri. Iya, cuma gebetan kok, soalnya cintaku selama SMA unrequited semua. Unrequitednya sampe bikin akunya galau gitu, di hape isinya lagu galau semua. LOL XDDD

Lucu banget sekarang jadinya. Dulu galau, sekarang bisa menertawakan kegalauan itu. Bukan karena sekarang aku (akhirnya) punya pacar, bukaaaaaaaaaan. Aku ketawa karena menyadari betapa berbedanya konsep cinta di otak SMA-ku dan di otakku yang sekarang. Kata pacarku, cinta SMA itu masih kaku, pokoknya maunya cowok yang begini, cewek yang begitu. Semakin dewasa, cintanya semakin rasional, bisa menerima kekurangan orang yang disukai, ndak saklek harus begini begitu lagi, asalkan ndak keluar dari kriteria wajib dan masih bisa ditoleransi.

Dipikir-pikir iya juga. Zaman SMA dulu, kayanya yang namanya cinta sebenernya belum ada. Paling-paling cuma crush atau infatuated cuma karena cowoknya cakep atau pinter atau cool. Buktinya perasaannya meledak-ledak di awal, tapi lupanya juga cepet, sekarang hilang ndak ada bekasnya. Konyol banget. Justru setelah mengalami puluhan kali unrequited, aku jadi tau cowok seperti apa yang benar-benar aku mau untuk jadi pendamping. Anak SMA mana mikir sampe situ?

Bagaimanapun, kisah cinta (monyet) masa SMA juga bagian dari pedewasaanku. Sekarang setelah 11 tahun berlalu, kalau aku ketemu sama cowok-cowok yang pernah kutaksir dulu, aku pasti akan tertawa mengenang betapa konyolnya diriku yang segitu galaunya pernah ditolak sama mereka :'))))))


p.s. Postingan ini kutulis sambil dengerin Too Little Too Late-nya Jojo, lagu yang kunyanyikan berulang-ulang waktu ditolak gebetanku di kelas 3 SMA :p

7 February 2015

Guru Pasca-Sarjana

Posted by Icha Anindya at Saturday, February 07, 2015 0 comments
Dua belas hari lalu, aku resmi menyandang gelar sarjana kedua. Ritual wisudaku sedikit berbeda dengan wisuda S1, termasuk berbeda kota, venue, yang mewisuda, dan model toganya. Akhirnya aku merasakan juga diwisuda di Grha Sabha Pramana UGM. Overjoyed :D

Waktu kelulusanku (ujian tesis tertutup dan terbuka) dengan wisuda berselang cukup jauh, sekitar 4 bulan dan selama 4 bulan itu kelakuanku seperti Sherlock yang lagi sepi kasus, teriak-teriak "BORED!" sepanjang waktu sambil gegulingan ke sana kemari, praktis kerjaannya cuma makan sama tidur aja. My life was so dull at that point.

Mungkin penyebabnya gara-gara akunya juga yang terlampau idealis. Tujuanku setelah lulus S2 hanya satu: jadi dosen. Aku tidak pernah menginginkan dan membayangkan pekerjaan lain selain itu (kecuali jadi istri dan ibu :p). Tapi ternyata untuk mendapatkan tempat yang cocok juga bukan perkara gampang. Sekali waktu tanteku memberi info lowongan untuk dosen, tapi aku tidak sreg dengan universitasnya, jadi peluang itu tak kuambil, bahkan walaupun bidangnya sesuai dengan major-ku. Sementara itu universitas lain yang kuincar belum membuka lowongan, jadi ya sudah, another waiting session I guess.

Lalu sekitar dua minggu sebelum wisuda, beberapa hari setelah tahun baru, teman sekelasku Ayu memberikan tawaran padaku via WhatsApp,"Purun dadi guru drilling neng sekolahanku po?"

Awalnya aku agak bimbang. Aku tahu Ayu sudah beberapa bulan bekerja jadi guru di SMA. Bekerja jadi guru di SMA sedikit melenceng dari idealismeku memang, tapi aku sebenarnya tidak terlalu merasa keberatan. Hanya saja, aku pernah punya pengalaman buruk. Aku pernah melamar untuk menjadi guru di bimbel, lalu aku dites microteaching dan kemudian aku ditolak bekerja karena (kata jurinya) cara mengajarku tidak cocok untuk anak SMA. Katanya aku mengajar seperti seorang dosen. Sepulang dari situ, kuputuskan bahwa aku akan berpikir berulang kali kalau harus mengajar di bimbel (dan secara tidak langsung, anak SMA), karena di mataku bimbel hanyalah sarana mencari jawaban dengan cepat, bukan mencari pemahaman tentang apa yang dipelajari. Aku merasa perlu mempertimbangkan tawaran itu, jadi aku minta waktu berpikir sebentar dan setelah dapat acc dari Mamah, malamnya aku bilang pada Ayu kalau aku menerima tawarannya.

Sekitar dua hari kemudian, aku datang ke sekolah itu untuk wawancara dengan guru biologinya. Ada tiga orang yang berminat menjadi guru drilling, sementara yang dibutuhkan hanya dua, jadi diadakan seleksi wawancara. Selain aku, ada mas-mas dari UIN dan satunya Mas Agung, yang juga teman sekelasku. Lumayan lah, aku jadi sedikit tenang, setidaknya ada orang yang kukenal dan aku jadi bisa ngobrol selama menunggu. Lagipula sebenarnya aku sudah stress sejak Ayu memberitahuku bahwa akan ada seleksi. Tapi akhirnya "Fuck it" juga. Toh mau lari dari kenyataan juga tidak bisa.

Singkat cerita, akhirnya aku dan Mas Agung yang lolos seleksi. Alhamdulillah, akhirnya aku punya kegiatan yang menghasilkan uang. Aku juga jadi tidak bengong saja di rumah. Aku juga bersyukur aku dan Mas Agung sama-sama lolos, jadi aku tidak perlu melakukan penyesuaian dengan teman kerjaku, aku tinggal menyesuaikan diri dengan sekolah dan pekerjaanku. Tentang pekerjaannya sendiri, dibilang berat ya berat, dibilang tidak ya tidak. Jadi aku membantu anak kelas XII dalam persiapan menghadapi Ujian Nasional. Tiap kelas dibagi menjadi tiga kelompok. Aku, Mas Agung, dan guru biologi masing-masing meng-handle satu kelompok dan kami membahas soal-soal dari modul dan kumpulan soal ujian tahun-tahun sebelumnya.

Sejujurnya pada hari pertamaku bekerja, aku cukup ketakutan. Aku tidak pernah menghadapi anak SMA sebelumnya. Tapi ya, aku pernah jadi anak SMA, jadi aku tahu bagaimana kelakuan dasar anak SMA. Di luar dugaan, hari pertamaku berlangsung cukup baik. Bagian terbaik dari hari pertamaku adalah menyaksikan kekaguman anak-anak ketika tahu bahwa guru baru mereka adalah lulusan S2 :)))

Sampai hari ini, aku sudah mengenal dengan baik semua murid yang ku-handle dan aku berani bilang bahwa mereka cukup nyaman belajar bersamaku. Pada dasarnya mereka juga pribadi yang unik dan menyenangkan. Selalu ada hal baru yang kudapatkan setiap bertemu mereka dan aku juga belajar banyak dari mereka. Awalnya aku takut tidak bisa mengenal mereka dengan baik, tapi entah bagaimana aku bisa melakukannya. Ternyata aku hanya perlu melepaskan posisi sebagai aku dan lebih banyak terfokus pada mereka. Dan surprisingly, aku sedikit demi sedikit bisa mengetahui apa yang tersembunyi dalam diri mereka. Pada dasarnya mereka semua punya potensi dan gaya masing-masing untuk belajar. Aku belum menemukan cara untuk membuat kemampuan mereka melesat, tapi setidaknya aku tahu bagaimana cara menangani masing-masing dari mereka.

Dari mereka, aku belajar banyak tentang menghadapi orang. Aku belajar bagaimana mendapatkan perhatian mereka saat di kelas dan rupanya mereka senang saat seorang guru punya dunia yang sama dengan mereka. Beberapa murid lumayan kaget saat tahu aku sudah membaca Eyeshield 21 dan kami membahas jalan ceritanya sedikit. Beberapa murid juga sudah berani curhat padaku tentang pelajaran. Agak lucu juga, aku jadi anak manja di depan orang tua dan pacarku, tapi di depan mereka, aku bijaksana luar biasa. Lebih baik mereka ndak tau aslinya aku :p

Aku juga menemukan murid-murid yang kemampuannya jauh di atas teman-teman seangkatannya yang lain. Mereka kritis, belajar dengan caranya sendiri, membaca dan mengingat lebih banyak dari yang diperlukan, dan kadang bersikap agak seenaknya (yang mengingatkanku pada pacarku :D). Beberapa dari mereka terlihat jelas-jelas bangga dengan kemampuannya dan jadi terkesan ingin menunjukkan pada gurunya bahwa mereka mampu. Aku tidak menyalahkan mereka untuk ini karena aku dulu pun begitu :p Bahkan aku mengakui kalau ada di antara mereka yang lebih pintar dari aku (atau mungkin ingatannya hanya sedikit lebih fresh. #ngeles), mengingatkan diriku sendiri untuk lebih siap dan belajar lebih banyak supaya ndak mati gaya di depan mereka :)

Jadi guru SMA bukan cita-citaku, aku masih dan selalu ingin jadi dosen. Tapi passion-ku mungkin memang mengajar, sehingga meskipun kuakui aku cape jadi guru drilling, sejauh ini aku tidak mau mutung. Banyak pelajaran yang kudapatkan sekarang yang pasti berguna ketika aku nanti benar-benar menjadi dosen. Lagipula jadi guru drilling memberiku kesempatan untuk me-refresh ilmuku dan belajar lebih banyak lagi. Dan bagiku, ini bukan masalah gaji. Bukan juga masalah "eman-eman lulusan S2 kok cuma jadi guru". Ini batu loncatan yang berharga untuk mencapai cita-citaku nanti :)
 

Imaginary Fairytales Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review